Selasa, 01 Maret 2016

✿ Beginilah Cerdasnya Teguran Umar bin Khaththab kepada Rakyatnya yang Tidak Shalat Jamaah.


[Hanya Sebuah Nasehat]
Beginilah Cerdasnya Teguran Umar bin Khaththab kepada Rakyatnya yang Tidak Shalat Jamaah.

Selama beberapa hari terakhir, laki-laki ini tidak ditemukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab dalam barisan jamaah shalat Subuh. Sang Khalifah pun berniat mengunjungi rumahnya, siapa tahu laki-laki itu sedang menderita sakit atau berhalangan syar’i.

Pagi harinya, ketika menuju rumah si laki-laki, sayyidina Umar bin Khaththab melihatnya sedang berada di pasar. Sibuk dengan urusan perniagaannya. Pemimpin kaum Muslimin ini pun mengundang laki-laki tersebut, dengan nada agak keras.

Mendengar panggilan sang Khalifah kedua kaum Muslimin ini, laki-laki yang tak disebut namanya itu bergegas, mendatangi sayyidina Umar bin Khaththab dengan ekspresi ketakutan, khas rakyat yang mendatangi panggilan rajanya. Pikirannya juga sibuk menebak, kesalahan apa yang telah dia lakukan hingga sosok berjuluk al-Faruq ini mengundangnya kala itu.
“Mengapa engkau bersegera mendatangiku saat aku menyebut namamu, hai Fulan?” lanjut ayah Hafshah sebelum si laki-laki menjawab  Umar bin Khaththab melanjutkan, “sementara itu, ketika Allah Ta’ala memanggilmu untuk mendirikan shalat berjamaah, engkau tidak datang! Padahal, aku hanyalah Umar yang tak bisa menolongmu di akhirat!”

Dialog ini bisa kita temukan di banyak riwayat tentang salah satu menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Sosok yang sangat ditakuti oleh setan ini merupakan salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang jernih jiwa dan pikirannya. Banyak sekali pendapat beliau yang bersesuaian dengan firman Allah Ta’ala dalam banyak kasus.

Dialog ini, sejatinya juga tamparan buat kita semua. Betapa kita ini terlalu sombong dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah Ta’ala. Dengan mudahnya, kita menduakan Allah Ta’ala dengan selain-Nya, dengan atau tanpa disadari, dalam soalan yang besar atau kecil, secara langsung ataupun tidak.

Kita lebih bersegera saat mendapat panggilan pasangan hidup, atasan di tempat kerja, orang tua, atau pemimpin di daerah tempat kita menetap, baik tingkat kecamatan, kabupaten, kota, provinsi maupun negara.

Betapa kita sangat antusias dengan undangan Presiden, misalnya, padahal Allah Ta’ala yang menciptakan Presiden senantiasa mengundang lima kali dalam sehari agar kita mendatangi masjid-Nya untuk beribadah kepada-Nya, lalu kita bersikap acuh dan sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa?

Teguran cerdas ini, selain sebagai tamparan buat kita secara individu, sejatinya amat efektif pula jika dipraktikkan kepada anak-anak, adik-adik, pasangan hidup, atau orang-orang yang berada di bawah perwalian/kekuasaan kita.

Semoga dengan teguran ini banyak orang yang tergerak, kemudian bergegas mendatangi adzan sebab menyadarinya sebagai sebuah panggilan yang sangat istimewa.


Wallahu a’lam.

********************

Salam buat isteri :
‘Siti Nurjanah’


Minggu, 28 Februari 2016

✿ Habib Salim Segaf al-Jufri : Kita Ini Dai, Bukan Hakim!.




[Hanya Sebuah Nasehat]
Habib Salim Segaf al-Jufri : Kita Ini Dai, Bukan Hakim!.

Maraknya kelompok yang mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan di negeri ini. Diperparah dengan munculnya banyak aliran sesat yang menghina sahabat Nabi, memunculkan Nabi baru, dan lain sebagainya.

Keprihatinan inilah yang melatarbelakangi Dr Habib Salim Segaf al-Jufri untuk angkat bicara. Dengan nada yang santun dan menyejukkan hati, beliau menyampaikan ceramah singkat tentang tugas kita yang utama; sebagai dai, bukan hakim!

Berikut transkripnya sebagaimana dirilis oleh AlimanCenter.TV

“Saya sudah menjelaskan, nahnu du’atun la qudhatun, antum (Anda) itu sebagai dai, bukan hakim yang mengadili masyarakat.
Jadi, paham ya?

Dai itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat, diajak. Itu namanya dai. Tapi kalau kita sudah memposisikan sebagai hakim, itu persoalannya sudah berbeda.

Kalau posisi hakim ini, “Ini kafir. Ini musyrik. Ini fil jannah (masuk ke dalam surga). Ini fi jahannam (masuk ke dalam neraka jahannam).” Itu namanya qadhi, hakim.

Tapi antum sebagai dai. Ud’u sabili rabbika (ajaklah ke jalan Rabbmu). Kalau yang kurang paham, ya dialog, diajak.

Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu? Saya sudah jelaskan. (Menjelek-jelekkan sesama) muslim saja sudah gak benar, apalagi (menjelek-jelekkan) sahabat Nabi!

Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, dia sudah memposisikan sebagai apa? Dai atau hakim?

Antum bisa menjawab gak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini-itu, dia hakim atau dai? Dia hakim.

Kerja dai itu berbeda. Kerja dai itu mengajak. Meluruskan. Yang sesat diajak dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat hidayah atau tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita.

Tapi yang penting, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus hadir.

Adanya agama untuk membuat masyarakat menjadi tenang. Saya berharap, di setiap agama ada lembaga yang menjadi reference, rujukan.

Kita di Indonesia ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, agama ini, agama itu. Nah, (kalau ada rujukannya bisa dilihat) benar gak agama tersebut?

Sebab ada juga di daerah-daerah, orang shalat tidak membaca bismillah, tapi menggunakan terjemahan. Ada juga kan? Pernah dengar kan?
(Lalu) muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini (ajaran) baru. Di sinilah negara harus hadir.

Di situ pentingnya (kehadiran negara). Ulama pun mempunyai rujukan, apakah MUI (Majlis Ulama Indonesia), atau apa, yang menjadi rujukan; mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Tetapi sebagai orang umum, sebagai masyarakat, nahnu du’atun la qudhatun; kita itu dai, bukan hakim.”

Wallahu a’lam.

*************************

Salam buat istri :
‘Siti Nurjanah’
  
 
;