Sahabat Muslim, Suatu waktu seorang sahabat Rasulullah saw, Tsa’labah meminta kepada Rasul supaya
dirinya didoakan menjadi kaya. Lalu, Rasul mendoakannya, dan dia pun jadi kaya.
Tetapi, kemudian dia menjadi sangat repot mengurus harta kekayaannya. Sehingga tidak sempat salat berjamaah, tidak ada
waktu untuk bersilaturahmi, hingga menjadi sombong.
Nah, dari kisah itu kita bisa mengambil hikmah bahwa sulit ditakdirkan menjadi orang kaya, jika iman kita tidak benar-benar kuat. Makanya mohon maaf, saya tidak bermaksud mematahkan semangat saudara yang ingin kaya. Silakan. Asalkan, pertama, saudara mengetahui beratnya ujian dan hisab yang bakal didapat, dan yang kedua, belum tentu saudara punya takdir kaya.
Nah, dari kisah itu kita bisa mengambil hikmah bahwa sulit ditakdirkan menjadi orang kaya, jika iman kita tidak benar-benar kuat. Makanya mohon maaf, saya tidak bermaksud mematahkan semangat saudara yang ingin kaya. Silakan. Asalkan, pertama, saudara mengetahui beratnya ujian dan hisab yang bakal didapat, dan yang kedua, belum tentu saudara punya takdir kaya.
Oleh sebab itu, kepada saudara-saudara yang telah
bercita-cita ingin kaya, saya anjurkan untuk memikirkan dan merenungkan lagi.
Kalau menurut saya, lebih baik segera saudara batalkan cita-cita atau keinginan
kaya itu.
Datangnya harta adalah ujian yang berat. Ia baru menjadi rezeki kalau kita bisa lolos dari ujian tersebut. Seperti dipotong dulu zakatnya, bersedekah, dan niat menggunakannya di jalan Allah. Padahal ketika ada uang, kita cenderung berkeinginan membeli lebih dari keperluan. Keinginan membeli menjadi ringan, berlebihan dan mubazir. Sehingga berkawan dengan setan.
Bahkan untuk keperluan sendiri, kita jadi sulit membedakan mana yang benar-benar perlu atau sekadar ingin. Misalkan di saat memang memerlukan sepatu, lalu Allah mendatangkan uang Rp10 juta kepada kita. Ketika itu, perlukah kita membeli sepatu seharga Rp5 juta? Yakinkah dengan adanya sepatu itu salat kita bisa khusyuk? Atau malah sengaja mengambil shaf di dekat rak sepatu, supaya saat rukuk dan sujud bisa terus meliriknya.
Padahal itu baru Rp10 juta. Bagaimana kalau didatangkan lebih banyak? Cobaannya tidak hanya keinginan membeli yang berlebihan, tapi amat bisa jadi pengeluaran untuk bermaksiat pun menjadi lancar. Contohnya ketika ada yang ditaksir langsung mudah dan rajin berkunjung memberikan hadiah, sedangkan kepada orangtua sendiri jarang. Atau, jadi mudah pergi ke sana-sini untuk bermaksiat atau untuk urusan yang tidak jelas.
Makanya jangan tergiur menjadi orang kaya. Tergiurlah menjadi orang yang bertakwa, dalam posisi apa pun Allah menetapkan garis hidup kita. Mungkin saudara memang digariskan menjadi konglomerat atau konglomerawati. Tidak apa-apa, asalkan Allah yang mengatur dan mohonlah perlindungan-Nya.
Allah yang mengatur dan ditolong-Nya, maka seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Tidak ada kekayaan di hatinya walaupun semua di tangannya. Kaya tapi tetap akrab dengan Allah Yang Maha Pemberi Kekayaan.
Juga Abu Bakar ash-Shidiq, seluruh kekayaannya disedekahkan. Tapi mungkin yang begini tidak mampu kita lakukan. Karena kalau kita menyedekahkan sepertiga dari yang dimiliki saja sudah sulit. Mungkin saudara berkata, “Aa, saya berani menyedekahkan sepertiga isi dompet.” Tentu berani sebab kita sudah tahu jumlahnyahanya tiga riburupiah. Berbeda kalau isi dompet Rp300 ribu, “Tunggu dulu, ini uang makan sebulan. Jangan sepertiga, tapi 0,3 persennya sajalah.” Tetap seribu.
Saudaraku. Amat susah kalau tidak hati-hati. Harta kekayaan itu cobaannya banyak dan berat. Itu baru di dunia, belum lagi nanti hisabnya di akhirat. Setiap rupiah pasti akan ada hitungannya.
Sebagaimana suatu saat Rasulullah saw keluar rumah dengan rasa yang begitu lapar. Beliau bertemu sahabat yang juga sedang merasakan lapar. Lalu ada sahabat lainnya yang sangat bersuka-cita melihat Rasul. Sahabat ini menyambut dan menjamu Rasul, dan hendak segera memotongkan kambing.
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Jangan menyembelih kambing yang sedang mengeluarkan air susu.” Akhirnya sahabat tadi menyembelih kambing yang jantan. Lalu Rasulullah kembali berkata, “Kenikmatan ini suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.”
Jadi, bagi saudara yang tetap bercita-cita ingin kaya, seharusnya jangan membayangkan kesenangan-kesenangan duniawi yang sebentar dalam cita-cita itu. Tetapi bayangkanlah, jika takdir saudara memang kaya, bahwa ketika kaya saudara bisa menangis setiap malam karena takut akan hisabnya di sisi Allah. Lebih banyak bertobat dan memohon pertolongan Allah agar kuat menanggung ujian kekayaan yang diberi-Nya.
Jangan sebaliknya. Atau misalkan berkata, “sekarang saya belum punya uang, nanti kalau sudah kaya, akan saya wakafkan.” Karena saat berkata begitu, setan tidak pernah diam. Ketika sudah mulai punya uang, maka mulai juga terlambat ke masjid. Apalagi berwakaf. Dengan mudah bisa lupa, “Enak saja dia tinggal minta, uang ini hasil keringat saya sendiri, siang malam saya membanting tulang dan kepala mengumpulkan.” Atau, sekali pun jadi mewakafkan, tapi niatnya bisa untuk ujub dan riya.
Tidak mudah, saudaraku. Lebih baik saudara batalkan cita-cita ingin kaya. Bercita-cita dan berupayalah menjadi orang yang bertakwa. Tapi jika saudara memang ditakdirkan kaya, maka perbanyaklah bertobat dan memohon perlindungan Allah atas kekayaan itu.
Sebab kalau tidak, bisa mengalami apa yang disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 75-77:
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling, dan selalu membelakangi kebenaran. Maka Allah timbulkan kemunafikan di hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya, dan juga karena mereka selalu berdusta."
Datangnya harta adalah ujian yang berat. Ia baru menjadi rezeki kalau kita bisa lolos dari ujian tersebut. Seperti dipotong dulu zakatnya, bersedekah, dan niat menggunakannya di jalan Allah. Padahal ketika ada uang, kita cenderung berkeinginan membeli lebih dari keperluan. Keinginan membeli menjadi ringan, berlebihan dan mubazir. Sehingga berkawan dengan setan.
Bahkan untuk keperluan sendiri, kita jadi sulit membedakan mana yang benar-benar perlu atau sekadar ingin. Misalkan di saat memang memerlukan sepatu, lalu Allah mendatangkan uang Rp10 juta kepada kita. Ketika itu, perlukah kita membeli sepatu seharga Rp5 juta? Yakinkah dengan adanya sepatu itu salat kita bisa khusyuk? Atau malah sengaja mengambil shaf di dekat rak sepatu, supaya saat rukuk dan sujud bisa terus meliriknya.
Padahal itu baru Rp10 juta. Bagaimana kalau didatangkan lebih banyak? Cobaannya tidak hanya keinginan membeli yang berlebihan, tapi amat bisa jadi pengeluaran untuk bermaksiat pun menjadi lancar. Contohnya ketika ada yang ditaksir langsung mudah dan rajin berkunjung memberikan hadiah, sedangkan kepada orangtua sendiri jarang. Atau, jadi mudah pergi ke sana-sini untuk bermaksiat atau untuk urusan yang tidak jelas.
Makanya jangan tergiur menjadi orang kaya. Tergiurlah menjadi orang yang bertakwa, dalam posisi apa pun Allah menetapkan garis hidup kita. Mungkin saudara memang digariskan menjadi konglomerat atau konglomerawati. Tidak apa-apa, asalkan Allah yang mengatur dan mohonlah perlindungan-Nya.
Allah yang mengatur dan ditolong-Nya, maka seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Tidak ada kekayaan di hatinya walaupun semua di tangannya. Kaya tapi tetap akrab dengan Allah Yang Maha Pemberi Kekayaan.
Juga Abu Bakar ash-Shidiq, seluruh kekayaannya disedekahkan. Tapi mungkin yang begini tidak mampu kita lakukan. Karena kalau kita menyedekahkan sepertiga dari yang dimiliki saja sudah sulit. Mungkin saudara berkata, “Aa, saya berani menyedekahkan sepertiga isi dompet.” Tentu berani sebab kita sudah tahu jumlahnyahanya tiga riburupiah. Berbeda kalau isi dompet Rp300 ribu, “Tunggu dulu, ini uang makan sebulan. Jangan sepertiga, tapi 0,3 persennya sajalah.” Tetap seribu.
Saudaraku. Amat susah kalau tidak hati-hati. Harta kekayaan itu cobaannya banyak dan berat. Itu baru di dunia, belum lagi nanti hisabnya di akhirat. Setiap rupiah pasti akan ada hitungannya.
Sebagaimana suatu saat Rasulullah saw keluar rumah dengan rasa yang begitu lapar. Beliau bertemu sahabat yang juga sedang merasakan lapar. Lalu ada sahabat lainnya yang sangat bersuka-cita melihat Rasul. Sahabat ini menyambut dan menjamu Rasul, dan hendak segera memotongkan kambing.
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Jangan menyembelih kambing yang sedang mengeluarkan air susu.” Akhirnya sahabat tadi menyembelih kambing yang jantan. Lalu Rasulullah kembali berkata, “Kenikmatan ini suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.”
Jadi, bagi saudara yang tetap bercita-cita ingin kaya, seharusnya jangan membayangkan kesenangan-kesenangan duniawi yang sebentar dalam cita-cita itu. Tetapi bayangkanlah, jika takdir saudara memang kaya, bahwa ketika kaya saudara bisa menangis setiap malam karena takut akan hisabnya di sisi Allah. Lebih banyak bertobat dan memohon pertolongan Allah agar kuat menanggung ujian kekayaan yang diberi-Nya.
Jangan sebaliknya. Atau misalkan berkata, “sekarang saya belum punya uang, nanti kalau sudah kaya, akan saya wakafkan.” Karena saat berkata begitu, setan tidak pernah diam. Ketika sudah mulai punya uang, maka mulai juga terlambat ke masjid. Apalagi berwakaf. Dengan mudah bisa lupa, “Enak saja dia tinggal minta, uang ini hasil keringat saya sendiri, siang malam saya membanting tulang dan kepala mengumpulkan.” Atau, sekali pun jadi mewakafkan, tapi niatnya bisa untuk ujub dan riya.
Tidak mudah, saudaraku. Lebih baik saudara batalkan cita-cita ingin kaya. Bercita-cita dan berupayalah menjadi orang yang bertakwa. Tapi jika saudara memang ditakdirkan kaya, maka perbanyaklah bertobat dan memohon perlindungan Allah atas kekayaan itu.
Sebab kalau tidak, bisa mengalami apa yang disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 75-77:
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling, dan selalu membelakangi kebenaran. Maka Allah timbulkan kemunafikan di hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya, dan juga karena mereka selalu berdusta."
Sumber : kabarmakkah.com
※ Ya Allah...
semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤ Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin ya Rabbal'alamin
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤ Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin ya Rabbal'alamin
¤
Salam sayang buat isteri & anak tercinta :
‘Siti Nurjanah &
Rachmad Hidayatullah’