[Hanya Sebuah Nasehat]
✿ Habib Salim Segaf al-Jufri : Kita Ini Dai, Bukan
Hakim!.
Maraknya kelompok yang mengaku
paling benar dan menyalahkan orang lain merupakan fenomena yang sangat
memprihatinkan di negeri ini. Diperparah dengan munculnya banyak aliran sesat
yang menghina sahabat Nabi, memunculkan Nabi baru, dan lain sebagainya.
Keprihatinan inilah yang
melatarbelakangi Dr Habib Salim Segaf al-Jufri untuk angkat bicara. Dengan nada
yang santun dan menyejukkan hati, beliau menyampaikan ceramah singkat tentang
tugas kita yang utama; sebagai dai, bukan hakim!
Berikut transkripnya sebagaimana
dirilis oleh AlimanCenter.TV
“Saya sudah menjelaskan, nahnu du’atun la qudhatun,
antum (Anda) itu sebagai dai, bukan hakim yang mengadili masyarakat.
Jadi, paham ya?
Dai itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat, diajak. Itu namanya
dai. Tapi kalau kita sudah memposisikan sebagai hakim, itu persoalannya sudah
berbeda.
Kalau posisi hakim ini, “Ini kafir. Ini musyrik. Ini fil
jannah (masuk ke dalam surga). Ini fi jahannam
(masuk ke dalam neraka jahannam).” Itu namanya qadhi, hakim.
Tapi antum sebagai dai. Ud’u sabili rabbika (ajaklah ke
jalan Rabbmu). Kalau yang kurang paham, ya dialog, diajak.
Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu? Saya sudah
jelaskan. (Menjelek-jelekkan sesama) muslim saja sudah gak benar, apalagi
(menjelek-jelekkan) sahabat Nabi!
Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, dia sudah memposisikan sebagai apa? Dai
atau hakim?
Antum bisa menjawab gak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini-itu, dia
hakim atau dai? Dia hakim.
Kerja dai itu berbeda. Kerja dai itu mengajak. Meluruskan. Yang sesat
diajak dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat hidayah atau tidak dapat
hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita.
Tapi yang penting, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus
hadir.
Adanya agama untuk membuat masyarakat menjadi tenang. Saya berharap, di
setiap agama ada lembaga yang menjadi reference, rujukan.
Kita di Indonesia ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, agama ini,
agama itu. Nah, (kalau ada rujukannya bisa dilihat) benar gak agama tersebut?
Sebab ada juga di daerah-daerah, orang shalat tidak membaca bismillah,
tapi menggunakan terjemahan. Ada juga kan? Pernah dengar kan?
(Lalu) muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini (ajaran) baru. Di sinilah
negara harus hadir.
Di situ pentingnya (kehadiran negara). Ulama pun mempunyai rujukan, apakah
MUI (Majlis Ulama Indonesia), atau apa, yang menjadi rujukan; mana yang benar
dan mana yang tidak benar.
Tetapi sebagai orang umum, sebagai masyarakat, nahnu du’atun la qudhatun; kita itu dai, bukan hakim.”
Wallahu a’lam.
*************************
Salam buat istri :
‘Siti Nurjanah’